NawalaHPI Mei-Agu 2022 [Ed-2 Vol-3] - Magazine - Page 33
BINCANGBINCANG
Fajar
Benar, kesiapan mental itu sangat penting. Di kasus yang saya ceritakan tadi – bangsal isolasi
pasien pengidap AIDS dan TB – rasa takut yang saya alami memakan sumber daya yang saya
miliki. Kita tahu, penjurubahasaan adalah kerja yang menuntut konsentrasi tinggi. Konsentrasi
tinggi berarti energi besar. Rasa takut, bingung, kalut, dan panik ini mencaplok sejumlah besar
energi yang semestinya kita kerahkan untuk menjuru bahasa.
Di situasi seperti ini, saya memilih untuk jujur. Saya menyampaikan kondisi psikis saya ke klien
yang saya dampingi. Saya harus bilang bahwa saya butuh jeda, untuk ‘merapikan’ kembali
mental saya.
Saya ada satu pengalaman yang erat kaitannya dengan risiko guncangan mental terhadap
juru bahasa. Waktu itu, kami melakukan wawancara tidak sengaja di sebuah puskesmas.
Pasien adalah seorang perempuan muda. Usianya sekitar 18 tahun dan sedang hamil. �
Tangan pasien digips. Klien saya bertanya tentang penyebab cedera tersebut. Ternyata, �
saat memeriksakan kehamilannya, pasien terindikasi positif HIV. Dokter berusaha melakukan
pelacakan, hal yang biasa pada kasus penyakit infeksius. Pelacakan mengerucut pada suami
pasien. Lalu, menurut pengakuan pasien, suaminya marah dan menganggapnya membocorkan rahasia. Dalam perjalanan pulang, pasien dan suaminya terlibat pertengkaran. Hingga di
satu titik, si suami mendorong pasien hingga jatuh dari motor.
Jujur, saat mendengar cerita itu, secara langsung dari ibu muda ini, saya terguncang hingga
sulit bernapas. Konsentrasi saya buyar. Sama seperti kasus yang pertama tadi, saya terus
terang kepada klien. Saya minta waktu jeda untuk mengatur napas dan memulihkan mental
saya.
Hanny
NAWALAHPI | Jan-Apr 2022
32